Kamis, 03 Juli 2008

YAGOON BURMA( MYANMAR )

Sejarah Yagoon Burma ( Myanmar )
Persatuan Myanmar (juga dikenal sebagai Burma) adalah sebuah negara di Asia Tenggara. Negara seluas 680 km² ini telah diperintah oleh pemerintahan militer sejak kudeta tahun 1988. Negara ini adalah negara berkembang dan memiliki populasi lebih dari 50 juta jiwa. Ibu kota negara ini sebelumnya terletak di Yangon sebelum dipindahkan oleh pemerintahan junta militer ke Naypyidaw pada tanggal 7 November 2005.
Pada 1988, terjadi gelombang demonstrasi besar menentang pemerintahan junta militer. Gelombang demonstrasi ini berakhir dengan tindak kekerasan yang dilakukan tentara terhadap para demonstran. Lebih dari 3000 orang terbunuh.
Pada pemilu 1990 partai pro-demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi memenangi 82 persen suara namun hasil pemilu ini tidak diakui rezim militer yang berkuasa.

Perubahan nama
Perubahan nama dari Burma menjadi Myanmar dilakukan oleh pemerintahan junta militer pada tanggal 18 Juni 1989. Junta militer merubah nama Burma menjadi Myanmar agar etnis non-Burma merasa menjadi bagian dari negara. Walaupun begitu, perubahan nama ini tidak sepenuhnya diadopsi oleh dunia internasional.
Beberapa negara Eropa seperti Inggris dan Irlandia yang tidak mengakui legitimasi kekuasaan junta militer tetap menggunakan "Burma" untuk merujuk kepada negara tersebut.
PBB, yang mengakui hak negara untuk menentukan nama negaranya, menggunakan Myanmar, begitu pula dengan Perancis dan Jerman. Di Jerman, kementerian luar negeri menggunakan Myanmar, tetapi hampir seluruh media Jerman menggunakan Burma.
Pemerintah AS, yang tidak mengakui legitimasi kekuasaan junta militer tetap menggunakan Burma tetapi mayoritas media besar seperti The New York Times, CNN dan Associated Press menggunakan Myanmar.
Pemerintah junta juga mengubah nama Rangoon menjadi Yangon. Pada 2005, pemerintah membangun ibu kota baru, bernama Naypyidaw.

Gelombang protes 1988
Meski terkenal akan pelanggaran HAM, Myanmar justru memiliki sejarah protes massa yang panjang. Ketika Indonesia bungkam dengan gerakan bawah tanah di era Soeharto, gelombang protes Myanmar justru menguat sejak dimulainya masa pemerintahan militer Jenderal Ne Win. Tahun 1988, gelombang protes massa Myanmar ini melibatkan pelajar, pejabat sipil, pekerja hingga para biksu Budha. Protes hadir saat Ne Win menggunakan tentara bersenjata demi kudeta militer.
Sejak awal massa Myanmar memang telah menginginkan berakhirnya junta militer ini. . The State Peace and Development Council's (SPDC's) Myanmar mengajukan tuntutan yang populer untuk mereformasi pemerintahan menjadi neo-liberal. Tuntutan reformasi ini terutama berlaku untuk ekonomi, termasuk saat bulan lalu pemerintah Myanmar menarik subsidi BBM.
Protes massa Myanmar memang tak segaduh Amerika yang liberal. Dimana-mana rejim militer masih memegang kendali sosial. Asia Times mencatat, gerakan protes umumnya mulai dalam jumlah kecil dan tersebar. Beberapa bulan terkahir ini misalnya, protes kecil dan damai terus berkelanjutan di ibukota Yangon.
Namun kemarahan publik ini bisa berubah menjadi efek bola salju dan menjadi gerakan massa besar-besaran. Salah satunya yang terjadi di Pakkoku. Setelah bola salju ini pecah, maka perlahan akan kembali menggumpal. Beberapa hari setelah kejadian Pakkoku, 500 biksu kembali berbaris damai di Yangon, Myanmar. Layaknya biksu, New York Times mencatat gerakan ini malah berdoa untuk kedamaian dan keselamatan setelah peristiwa Pakkoku.
Gerakan dalam protes bukan hanya terjadi dari satu pihak saja. Pemerintah Myanmar juga menyikapinya dengan Union Solidarity and Development Association (USDA). USDA tercatat kerap bergabung dalam gelombang protes ini. Organisasi propemerintah ini tercatat bahkan ikut terlibat dalam upaya pembunuhan Suu Kyii di tahun 2003. Meski gagal, aksi tersebut memakan korban simpatisan National League dor Democracy (NLD) sebagai gantinya.
“Anggota kelompok ini (USDA) dilatih khusus untuk mengontrol massa dan mengubah protes menjadi aksi kekerasan,” kata seorang Diplomat barat di Yangon pada Asia Times. Dunia Barat mencurigai gerakan ini berada dalam sayap yang sama dengan intelejen Myanmar. Apalagi, setiap aksi protes yang terjadi sangat sulit untuk diliput oleh para jurnalis, termasuk jurnalis internasional. Rekrut anggota juga dicurigai berasal dari para kriminal. Seiring bertambahnya anggota USDA, sekurangnya 600 kirminal juga dilepaskan dari Penjara Yangon. Hingga kini anggota USDA diperkirakan mencapai 2000 orang.
USDA berfungsi menyaingi kelompok pelajar dan biksu Bhuda yang vokal dalam aksi protes. Apalagi secara khusus aktivis Myanmar telah memiliki organisasi protes massanya sendiri. Organisasi 88 Generation Student ini didirikan oleh penyair internasional asal Myanmar Ming Ko Naing dan Ko Ko Gyi. Keduanya mendirikan organisasi ini setelah dibebaskan dari 14 tahun penjara, dan cukup populer di mata masyarakat Myanmar. Meski berlabel pelajar, Generation 88 kerap bekerjasama denganpara pekerja, sipil hingga para biksu Buddha.
“Kami percaya tak satupun warga Myanmar yang rela menerima aksi kekerasan politik junta militer,” kata salah satu pemimpin Generation 88 Htay Kywe pada Asia Time. Dan dalam setiap protes massa Myanmar hampir bisa dipastikan USDA dan Generation 88 berperang didalamnya.

Gelombang protes 2007
oleh para biksu budha di Myanmar. Pada awalnya para biksu menolak sumbangan makanan dari para jendral penguasa dan keluarganya, penolakan ini menjadi simbol bahwa para biksu tidak lagi mau merestui kelakuan para penguasa militer Myanmar. Aksi demo juga dipicu oleh naiknya harga BBM beberapa ratus persen akibat dicabutnya subsidi. Demo melibatkan ribuan bikshu kemudian meletus diberbagai kota di Myanmar, para warga sipil akhirnya juga banyak yang mengikuti. Pemerintah Junta Militer melakukan aksi kekerasan dalam membubarkan demo-demo besar ini, Pagoda-pagoda disegel, para demonstran ditahan, dan senjata digunakan untuk membubarkan massa. Banyak biksu ditahan, beberapa diyakini disiksa dan meninggal dunia. Sepanjang Gelombang protes terjadi belasan orang diyakini menjadi korban, termasuk seorang reporter berkebangsaan Jepang, Kenji Nagai, yang ditembak oleh tentara dari jarak dekat saat meliput demonstrasi. Kematian warga Jepang ini memicu protes Jepang pada Myanmar dan mengakibatkan dicabutnya beberapa bantuan Jepang kepada Myanmar.

Akar permasalahan gelombang protes
Etnis Burma, berasal dari Tibet, merupakan etnis mayoritas di Myanmar. Namun, etnis Burma adalah kelompok yang datang belakangan di Myanmar, yang sudah lebih dahulu didiami etnis Shan (Siam dalam bahasa Thai). Etnis Shan pada umumnya menghuni wilayah di sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar. Sebelum etnis Burma datang, selain etnis Shan, sudah ada etnis Mon, yang menghuni wilayah selatan, juga dekat perbatasan dengan Thailand.
Sebagaimana terjadi di banyak negara, di antara tiga etnis utama di Myanmar ini terjadi perang. Satu sama lain silih berganti menjadi penguasa di daerah yang dinamakan Burma, kini Myanmar. Inilah yang terjadi, perebutan kekuasaan, sebelum kedatangan Inggris pada tahun 1885.
Ada juga etnis lain di Myanmar, yang kemudian turut meramaikan ketegangan politik sebelum penjajahan dan pasca-penjajahan Inggris. Misalnya, ada etnis Rakhine, lebih dekat ke Bangladesh.
Saat penjajahan, berbagai kelompok etnis ini berjuang untuk mengakhiri penjajahan. Setelah penjajahan berakhir dan merdeka pada tanggal 4 Januari 1948, makin terjadi kontak lebih ramah antara etnis Burma dan semua etnis non-Burma.

Burmaisasi
Aung San, ayah dari Aung San Suu Kyi, bersama U Nu adalah tokoh utama di balik kemerdekaan dan menjadi pemimpin negara. Akan tetapi, pada tahun 1962, militer yang didominasi etnis Burma mengambil alih kekuasaan negara. Ne Win adalah otak di balik kudeta itu.
Cikal bakal junta militer sekarang (disebut sebagai Dewan Negara untuk Perdamaian dan Pembangunan / SPDC) berasal dari kekuasaan Ne Win itu. SPDC sendiri didominasi oleh etnis Burma. Konfigurasi kekuasaan hak pun menjadi tidak berimbang antara etnis Burma yang mendominasi dan etnis non-Burma yang merasa ditindas. Sehingga muncullah perlawanan dari beberapa etnis non-Burma, termasuk etnis Karen, yang mendominasi wilayah pegunungan di utara, yang dikenal sebagai golden triangle (segitiga emas).
Burma memilih cara apa pun untuk mencegah hal itu terjadi. Sejak 1960-an, terjadilah diaspora warga Myanmar. Berbagai warga Myanmar dari kelompok etnis kini tinggal di Thailand, Bangladesh, Cina, Laos, dan India. Semua negara ini berbatasan langsung dengan Myanmar.
Kemenangan kubu demonstrasi, pimpinan Aung San Suu Kyi pada Pemilu tahun 1990, tak dikehendaki oleh kelompok etnis Burma. Kubu Suu Kyi dan dan etnis non-Burma lainnya merupakan ancaman bagi supremasi etnis Burma. Kemenangan Suu Kyi pun dihadang. Kekuasaan direbut. Beginilah yang terjadi seterusnya dan seterusnya.





Pembagian administratif

14 negara bagian dan divisi Myanmar.
Myanmar dibagi menjadi tujuh negara bagian (pyine) dan tujuh divisi (yin).[1] Divisi mayoritas dihuni etnis Bamar, sementara negara bagian mayoritas dihuni etnis-etnis minoritas tertentu. Setiap negara bagian dan divisi kemudian dibagi lagi menjadi distrik-distrik.
Divisi
Divisi Irrawaddy
Divisi Bago
Divisi Magway
Divisi Mandalay
Divisi Sagaing
Divisi Tanintharyi
Divisi Yangon
Negara bagian
Negara Bagian Chin
Negara Bagian Kachin
Negara Bagian Kayin (Karen)
Negara Bagian Kayah (Karenni
Negara Bagian Mon
Negara Bagian Rakhine (Arakan)
Negara Bagian Shan
Kelompok etnis di Myanmar
Etnis Bamar/Burma. Dua pertiga dari total warga Myanmar. Beragama Buddha, menghuni sebagian besar wilayah negara kecuali pedesaan.
Etnis Karen. Suku yang beragama Buddha, Kristen atau paduannya. Memperjuangkan otonomi selama 60 tahun. Menghuni pegunungan dekat perbatasan dengan Thailand.
Etnis Shan. Etnis yang beragama Buddha yang berkerabat dengan etnis Thai.
Etnis Arakan. Juga disebut Rakhine, umumnya beragama Buddha dan tinggal di perbukitan di Myanmar barat.
Etnis Mon. Etnis yang beragama Buddha yang menghuni kawasan selatan dekat perbatasan Thailand.
Etnis Kachin. Kebanyakan beragama Kristen. Mereka juga tersebar di Cina dan India.
Etnis Chin. Kebanyakan beragama Kristen, menghuni dekat perbatasan India.
Etnis Rohingya. Etnis Muslim yang tinggal di utara Rakhine, banyak yang telah mengungsi ke Bangladesh atau Thailand.
Lee Sebut Jenderal Junta Bodoh
Pernah Sarankan Than Shwe Tiru Soeharto
Singapura memaksimalkan peran sebagai pemimpin negara ASEAN untuk terus menekan junta militer Myanmar. Setelah wakilnya di PBB mendesak adanya sanksi bagi pemerintahan militer Myanmar, kemarin giliran Menteri Mentor Singapura Lee Kuan Yew mengecam keras pucuk pimpinan junta, Jenderal Than Shwe.
Sebagaimana dilaporkan harian The Straits Times kemarin (10/10), bapak pendiri Singapura itu menyatakan, para pimpinan junta militer yang berkuasa 45 tahun tersebut terdiri atas para jenderal bodoh. "Mereka gagal memaksimalkan potensi ekonomi Myanmar. Padahal, negara itu diberkahi sumber daya alam luar biasa," ujar Lee, panggilan akrab Lee Kuan Yew, saat wawancara dengan kelompok kolumnis AS di kantornya.
Kegagalan kelompok jenderal mengembangkan potensi Myanmar itu, kata dia, akan membuat mereka tidak akan bertahan lama.
Lee menyebutkan, dirinya pernah memiliki hubungan baik dengan salah satu tangan kanan Than Shwe, yaitu Jenderal Khin Nyunt. "Dia adalah jenderal yang paling pintar dibandingkan lainnya. Saya sering bertukar ide dengan dia. Saya pernah mengatakan kepada dia agar para junta Myanmar meniru Soeharto (mantan presiden RI, Red)," ungkapnya.
Lee menjelaskan kepada Khin Nyunt, Soeharto sukses melepas citra militer, lalu membentuk sebuah partai besar bernama Golkar dan sukses memerintah dengan citra sebagai pemimpin dari partai sipil. "Sayangnya, di tengah jalan, Soeharto jatuh. Jadilah saran saya untuk Khin Nyunt, yang kemudian disampaikan kepada Than Shwe, dianggap sebagai nasihat yang menyesatkan," jelas mantan PM Singapura tersebut.Akibatnya, Khin Nyunt ditangkap. Seluruh jabatannya dilucuti dan akhirnya dikenai tahanan rumah.
Meski mengecam junta militer, Lee menegaskan, upaya solusi atas krisis Myanmar harus melibatkan mereka. "Tentara harus menjadi bagian dari solusi atas Myanmar. Mereka mengontrol semua lini. Meninggalkan mereka berarti bersiap dengan solusi tanpa hasil," tegasnya.
Dia menceritakan, dirinya pernah merekomendasikan beberapa pengusaha untuk menanamkan modal di Myanmar beberapa tahun lalu. "Namun, saya menyesali rekomendasi saya. Sebab, setelah mereka menanamkan modal jutaan dolar di sektor perhotelan, kini yang mereka dapat hanya hotel yang melompong," ujarnya.
Dari Yagon, Myanmar, dilaporkan, Junta militer Myanmar mulai membuka pintu negosiasi dengan para biksu. Merespons sinyal positif itu, sejak Selasa lalu (9 Oktober), para biksu di Myanmar sepakat menghentikan aksi untuk berdialog dengan pemerintah di Naypidaw, ibu kota Myanmar.
Perwakilan biksu dipimpin U Yarzadana dari Yangon. Sedangkan junta militer diwakili Kolonel Than Shin, sekretaris pemerintahan. Pemerintah menjanjikan, setelah ada kesepakatan dengan para biksu, akan dilakukan juga dialog dengan tokoh demokrasi di Myanmar Aung San Syuu Kyi.
Pemimpin biksu di Mandalay U Wesaikta mengatakan, saat ini pihaknya menghentikan unjuk rasa di Mandalay sambil menunggu hasil negosiasi. "Kami beri deadline sampai Minggu 14 Oktober," kata U Wesaikta kepada Jawa Pos saat ditemui di wiharanya di Mandalay kemarin.
Di Mandalay, kota terbesar kedua setelah Yangon, pasca tertembaknya wartawan Jepang Kenji Nagai terus terjadi unjuk rasa. Setiap hari ratusan biksu di Mandalay berkumpul di Pagoda Maha Myat Muni, pagoda terbesar di Mandalay. Mereka juga berkeliling kota sambil membalik kuali atau mangkuk sebagai symbol menolak donasi dari pemerintah.
Tentara di Mandalay juga tidak kasar seperti di Yangon. Tetapi, wilayahnya dibatasi hanya di dalam kota Mandalay. Para biksu dilarang keluar dari kota Mandalay. Gerbang Mandalay dijaga ketat oleh tentara.Pemerintah, tampaknya, sengaja memberikan angin kepada para biksu untuk bisa mengajak dialog. "Kalau 14 Oktober tidak ada kesepakatan, kami akan turun lagi ke jalan," ujar biksu berusia 50 tahun itu.
Saat ini, meski menyatakan jeda unjuk rasa, para biksu tetap melakukan aksi menolak donasi dari pemerintah. Setiap melalui kantor milik pemerintah, para biksu dan biksuni di Mandalay membalik mangkuk. Itu sebagai tanda bahwa mereka tidak menerima donasi dari kantor tersebut. Mereka juga menolak pemberian makanan, minuman, dan pakaian dari pemerintah.Ada tiga tuntutan para biksu kepada pemerintah. Yaitu, pembebasan para biksu, penurunan harga, dan penegakan demokrasi. "Jika tiga tuntutan itu ditolak, kami akan turun lagi," katanya,
Perkembangan sementara, negosiasi berjalan alot. Para biksu ngotot pada tuntutannya. Namun, pemerintah menganggap tuntutan biksu berlebihan dan sudah mengarah pada gerakan politik. Pemerintah meminta para biksu sabar menunggu demokrasi di Myanmar.
Beberapa kali pemerintah mengumumkan ke publik melalui selebaran dan televisi bahwa pemerintah dan rakyat Myanmar sama-sama ingin membangun sendiri demokrasi baru di Myanmar tanpa campur tangan asing. Karena itu, fondasi demokrasi harus ditata terlebih dahulu.
Pemerintah juga meminta para biksu tidak memberikan dukungan kepada Aung San Syuu Kyi. Than Shwe menuduh Aung San Syuu Kyi adalah agen asing yang akan membawa kepentingan asing masuk Myanmar. Almarhum suami Aung San Syuu Kyi yang berkebangsaan Inggris dijadikan bukti tuduhan tersebut.
Junta militer, tampaknya, juga ingin mencari pembenaran bahwa Barat bermain di balik kekacauan di Myanmar. Biksu-biksu di Myanmar menceritakan, saat demo 27 September yang berujung kerusuhan, yang diperintah menembak adalah tentara dari Kachin, salah satu state di Myanmar.
"Saya melihat simbol di lengan tentara itu bukan tentara nasional. Mereka adalah tentara Kachin. Tentara dari Myanmar bagian utara itu beragama Kristen," kata salah seorang biksu di Yangon yang tidak mau disebut namanya dengan alasan keamanan.
Dengan menyuruh tentara Kachin menembak biksu, diharapkan muncul kesan ada kekuatan internasional -dalam hal ini Barat- yang menyokong penembakan biksu. Isunya sengaja dibawa menyerempet isu agama. "Tapi, kami tidak percaya. Tidak mungkin tentara Myanmar berani bertindak sendiri tanpa perintah Than Shwe," ujarnya.
Di Myanmar ada tujuh negara bagian (states), yaitu Chin, Kachin, Kyah, Kayin, Mon, Rahkine, dan Shan. Masing-masing memiliki tentara, namun di bawah koordinasi tentara nasional. Saat unjuk rasa biksu, tentara dari luar Yangon didatangkan.
Usaha lain pemerintah untuk memecah belah biksu adalah mereka menyebar biksu palsu ke Yangon dan Mandalay. "Anda jangan berbicara dengan sembarang biksu. Bisa jadi itu biksu palsu," kata U Wesaikta.
Biksu-biksu palsu itu disebar di pagoda-pagoda untuk mengesankan kegiatan para biksu berjalan normal seperti biasa. Dengan begitu, orang kembali mau berkunjung ke pagoda.
Para biksu di Mandalay saat ini menunggu berita dari Naypidaw. Mereka sudah siap untuk turun ke jalan secara besar-besaran seandainya perundingan gagal. Aksi unjuk rasa akan disiapkan di Mandalay dan Yangon.
Pihak pemerintah juga tidak kalah gesit. Pemerintah telah menyiapkan aksi projunta secara besar-besaran di Yangon pada Sabtu 13 Oktober 2007. Sejumlah kantor dan organisasi di Yangon sudah dihubungi pemerintah untuk menyiapkan diri mengikuti rapat akbar mendukung pemerintahan Than Shwe.
Seminggu terakhir, pemerintah giat menggelar aksi tandingan para biksu di berbagai kota. Di antaranya di Kachin, Myingyan, Pyawbe Township, Taunghta, Kanbalu, Shwebo, dan Yamethin. Pegawai negeri diwajibkan ikut dalam aksi tersebut. Mereka membawa poster bertulisan Beware of rumors of BBC and VOA, RFA Setting up hostilities, We don’t want provocation of foreign countries dan we don’t accept neo colonialism.
Tayangan unjuk rasa projunta itu diulang-ulang di stasiun TV Myanmar MRTV. Sehari bisa disiarkan ulang hingga lima kali. Selain itu, pemerintah melalui koran dan televisi lokal juga mengimbau para wartawan asing yang masih berada di Myanmar segera meninggalkan negara tersebut.